Sebelum membaca tulisan Italic di bawah ini, saya memohon pada pembaca untuk menghela nafas tiga kali terlebih dahulu... terimakasih.
Setelah lama meringkuk diam terpaku tanpa mampu beranjak sedikitpun tenggelam dalam buai. Walau buai itu masih hangat dipelukan, ntah kenapa batin tersentak, lalu tersadar. Perlahan, bola mata mulai bergerak-gerak beberapa derajat karena takut terluka setelah menyungging lelah, sedikit demi sedikit dengan bersusah payah membuka kelopaknya. Sedikit demi sedikit pulalah warna-warna mulai menghampiri sambut-menyambut memancarkannya melalui cahaya. Seakan-akan mereka mempertanyakan kabar, rasa, hasrat dengan kesenduan yang dimilkinya.
Setelah lama meringkuk diam terpaku tanpa mampu beranjak sedikitpun tenggelam dalam buai. Walau buai itu masih hangat dipelukan, ntah kenapa batin tersentak, lalu tersadar. Perlahan, bola mata mulai bergerak-gerak beberapa derajat karena takut terluka setelah menyungging lelah, sedikit demi sedikit dengan bersusah payah membuka kelopaknya. Sedikit demi sedikit pulalah warna-warna mulai menghampiri sambut-menyambut memancarkannya melalui cahaya. Seakan-akan mereka mempertanyakan kabar, rasa, hasrat dengan kesenduan yang dimilkinya.
Tetapi kok cuma bayang-bayang muda yang datang. Kemudian mata membujuk syarafnya berjalan ke hati untuk menyampaikan pesan berharga mencoba mencicipi indahnya di luar ringkuk-an ini. Tak lama hati berbisik-bisik sendiri, mendecak dan bergumam untuk melancarkan tenaga terakhir yang ia punya. Setelah tak mampu lagi hati sibuk sendiri, tanpa sadar, jari-jari tangan yang beku mulai tersentak, gemeriak kecil seakan-akan ingin sekali menggengam, melumat dan memecahkan apa yang bisa diraihnya walau sadar pasti tak mampu ia melakukan itu.
Seketika itu juga lutut ikut gemetar, bergoyang dan menghentakkan kekakuannya. Sepertinya ingin rasanya ia melompat setinggi-tingginya dan tidak ingin lagi kembali ke dasar tapi otot-otot sangat marah dan tak mengizinkan ia untuk melakukannya.
Apa ini...! Kenapa sepi yang selalu datang... Sampai kapan ia mengurungku begini.. Ambillah aku putih! Mohon sirami aku cahaya mu... Mohon bangkitkan aku dari sini... Walau sanggup aku begini seribu tahun lagi, tetapi maya nya terus memaksaku merangkak, berjalan, berlari dan melayang... aku sadar tak dapat melakukannya secepat itu, dan secepat yang dia mau. Sentuhlah kuku ku, usaplah ia perlahan, siramilah cahayaMu pada ku, lindungilah aku untuk tetap selalu dalam bisikanMu agar maya itu tidak mau lagi menggangguku.
Akhirnya, tidak pantas lagi sepertinya aku beranjak karena pancaran cahayaMu, tapi ketika maya itu datang aku pasti takut... Aku mohon, jangan lepaskan cahayaMu walau kita sangat jauh.
Siapakah Aku...? pasti bingungkan menjawabnya..., pengen tau aja apa pengen tau bangeeet...? hehehe, mari kita telusuri pemikiran berikut ini..
Istilah kata meratap dalam bahasa Indonesia berkata dasar 'ratap' yang lebih cenderung bermakna 'wail' dalam bahasa Inggerisnya dan aplikasinya lebih mengarah ke kata benda. Ketika di bubuhi awalan 'me' menjadi 'me-ratap', maknanya jadi bergeser dan dalam bahasa Inggeris-nya menjadi 'lament' yang lebih cenderung digunakan sebagai kata kerja. Istilah 'lament' hadir pertama sekali pada abad ke XV, pada zaman Inggeris pertengahan namanya 'lementen', pada zaman Perancis pertengahan namanya 'lamenter', pada zaman Latin pertengahan namanya 'lamentari' yang asal katanya itu 'lamentum'. Istilah 'lament' dalam bahasa Inggeris artinya sikap mengekspresikan kesedihan, duka dan menyesal efek yang demonstratif (kamus Merriam Webster). Dari arti tersebut dapat kita ambil makna bahwa 'lament' adalah sikap yang dipastikan lawan dari senang, gembira atau bahagia. Berbeda halnya dengan kata 'ratapan', karena istilah ini merujuk kepada kata benda; benda tersebut dipercaya menjadi objek sebagai tempat atau arah dalam sikap merasakan mental atau jiwa yang sedang lemah karena pengalaman-pengalaman atau kepercayaan tertentu. Sedangkan 'lament' atau 'me-ratap' diidentifkasi telah mengalami atau merasakan sesuatu yang dapat mempengaruhi mental dalam kondisi tertentu muncul tanpa membutuhkan objek atau tempat tertentu, sehingga timbul reaksi sebagai jelmaan aksi untuk mengurangi beban mental atau jiwa yang terlalu berat di pendam. Aksinya bisa saja menangis tersedu dalam posisi leher yang layu, teriak tak tentu arah, berkata-kata dengan nada yang cukup keras tanpa kejelasan yang tak tentu arah, dan meringkuh kaku sedekat-dekatnya dengan bumi sambil menutup mata tanpa sadar pikiran terbang melayang dengan liar. Jadi 'me-ratap' ini adalah sikap yang melebihi dari sedih, duka maupun sesal.
Tulisan ini hadir berupaya kuat dengan hati-hati agar sanggup menggelar keberadaan 'ruang' yang terkadang kebanyakan dari kita tidak atau kurang merasakan kehadirannya. 'Ruang' itu bisa jahat, bisa kejam, bisa adil, bisa ramah, bisa kelihatan, bisa kabur, bisa mengikuti, bisa diam, bisa membesar, bisa mengecil, bisa tinggi, bisa rendah, bisa sopan, bisa kurang ajar, bisa datang, bisa pergi, bisa bangun, bisa tidur, bisa menuntun bahkan bisa tak mau tau. Karena sangat luasnya makna kehadirannya, sampai-sampai kita tidak menyadari keberadaannya seperti semut di tengah lautan kelihatan sementara tak sadar ada gajah di depan mata. Maka dari itu, tulisan ini mencoba mengambil sikap meratap agar pembaca memahami bagaimana segala yang melingkupi si 'ruang' untuk dapat berkenalan dengan nya, bersahabat, dan bersama-sama berbuat sesuatu yang terbaik dan terindah bersama nya.
Ruang dan Tempat, bagai si kebar tak sekandung
Ruang dan tempat dalam bahasa Indonesia sedikit sulit untuk membedakannya di mata awam. Ketika kita berhadapan dengan ruang, orang-orang menyebutnya tempat; dan ketika berhadapan dengan tempat, orang-orang menyebutnya ruang. Sehingga kita agak ragu apakah ruang dan tempat si kembar itu, atau mereka berasal dari keluarga yang berbeda dan kebetulan saja ada kemiripan di wajah mereka. Atau ketika kita bertemu ruang, ternyata si tempat namanya; atau ketika bertemu tempat, si ruang ternyata namanya. Apakah de javu ini susah di obati bagai penyakit akut yang sulit sekali untuk disembuhkan.
Pemahaman tentang Ruang
dalam Arsitektur terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Di Eropa sejak
abad ke 18, para arsitek maupun pemikir arsitektur telah sering menggunakan
istilah ‘volumes’ dan ‘voids’, dan kadang-kadang juga menggunakan ‘space’ sebagai sinonim dari istilah-istilah tersebut (sesekali mereka masih menggunakan
istilah ruang, tapi pada dasarnya hal itu adalah untuk menjelaskan ruang
(space) sebagai sinonim atau bagian dari ruangan dengan aspek-aspek ‘voids’ dan
volumes’ di dalamnya, contoh: ‘void space,’ ‘loss of space’. Adrian Forty, hal. 256). Awal mula perbincangan Arsitektur tentang kata ruang (‘space’) sendiri secara resmi baru terjadi
kemudian yaitu di Jerman pada tahun-tahun 1890-an yang mana digunakan istilah ‘raum’. Hal ini menimbulkan problem bagi para arsitek yang bukan berasal dari
Jerman, seperti di Inggris karena menurut bahasa aslinya ‘raum’ (Jerman) itu
menandakan suatu ‘material enclosure’ yang
sekaligus juga merupakan sebuah konsep filosofi, sementara dalam bahasa Inggris disebut ‘room’
lebih merupakan sebuah ruangan fisik (Dr. Kemas Ridwan Kurniawan,
ST., M.Sc.).
Ketika kita mendengar kata 'ruang', pikiran kita berupaya mengambil kesimpulan tertentu untuk mengidentifikasi kebaradaannya agar tidak salah berinteraksi. Secara umum ya seperti itu kondisinya. Berarti di mata awam, istilah ruang akan hadir bila ada interaksi tertentu. Dan sebaliknya, bila tidak ada interaksi, maka ruang tersebut tidak akan hadir. Namun secara filosofis, ruang itu hadir tidak mengenal adanya interaksi, tetapi sejauh mana kita menyadari kehadirannya. Ruang itu abstrak, semu dan unindentify. Ketika kita menyadari kehadirannya secara absolut, maka makna 'ruang' nya akan hilang dan berubah menjadi tempat atau lokasi (place). Sehingga dapat dikatakan bahwa makna ruang di dalam arsitektur adalah material mentah yang siap kapan saja untuk di produksi menjadi tempat. Misalnya daerah pinggiran tebing sebagai leher jurang, apakah daerah tersebut tidak ada ruang? Kita dapat membayangkannya bahwa daerah tersebut tidak ada interaksi manusia. Secara umum, maka disana tidak ada ruang. Namun secara filosofis arsitektur, itulah ruang. Jadi ruang adalah bentuk bentuk murni sebagai wadah yang melingkupinya.
Bila kita kembali lagi pada praktik pemakaian istilah 'ruang' dan 'tempat' dalam kehidupan sehari-hari, sering kali terjadi kesalahan penempatan kata-kata pada pengucapan maupun penulisan. Hal ini perlu di kritisi dalam ranah arsitektur agar dengan pemahaman kita terhadap ruang dapat menghasilkan kualitas tempat yang dapat mewakili keberadaan ruang itu sendiri menyatu dengan interaksi yang akan hadir. Dalam bahasa pengalamannya, 'ruang' itu benar adalah ruang bila menjadi dasar dalam melahirkan atau menciptakan 'tempat'. Dan 'tempat' itu benar disebut sebagai 'ruang' bisa saja suatu 'tempat' yang telah mati berstatus atau teridentifikasi sebagai 'ruang'-murni. Sehingga bagaimana dengan 'ruang kelas', 'ruang dosen', 'ruang tamu' atau 'ruang... ruang... ruang...' lainnya, itukan nyata dinamakan 'ruang' dan manusia memahami hal itu...! Bila kita coba memahami pemikiran dalam memaknai 'ruang' yang telah kita bahas di atas adalah bahwa 'ruang..ruang...ruang...' itu semua makna hakikinya adalah tempat; ruang murni yang menjelma menjadi tempat. Untuk lebih mudah dipahami oleh indera komunikasi antar interaksi yang telah berlaku, maka 'ruang...ruang...ruang...' tersebut hanya sebagai nama, tanda, kode, bentuk dari keberadaan yang sebenarnya disebut 'tempat' atau ruang yang sudah diproduksi menjadi tempat dan untuk memudahkan interaksi dan komunikasi tertentu diberi nama '-ruang-' ....... dan begitu juga sebaliknya.... (kok kayak diperas otak ini untuk menyampaikannya, huuuffsss...!)
Dari hasil analisis praktis terhadap 'ruang dan tempat', dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa 'ruang' hadir terlebih dahulu dari 'tempat'; 'tempat' tak akan ada jika tidak ada 'ruang' dan 'ruang' atas kehadirannya tidak tergantung dengan 'tempat'. Maka yang pada awalnya kita tidak begitu mempermasalahkan keberadaan 'ruang' dan 'tempat', memperlihatkan mereka seperti si kembar tak sekandung. Artinya bahwa 'ruang' dan 'tempat' memiliki makna yang mirip seperti kembar, namun 'ruang' dan 'tempat' tidak memiliki hubungan apa pun - keduanya hadir untuk di lapaskan, disebutkan, ditulis berdasarkan keinginan aktornya agar mudah dimengerti dan dipahami atas tuntutan yang sudah berlaku membuat keduanya berarti tak sekandung.
Padahal berdasarkan analisis praktis,'ruang' dan 'tempat' itu tidak kembar, namun sekandung. Tidak kembar berarti kita dapat membedakan dengan jelas apa itu ruang, dan apa itu tempat. Sedangkan sekandung, kita memahaminya bahwa 'tempat' pasti hadir karena 'ruang' dan 'tempat' tidak akan ada tanpa 'ruang'.
Mencekuh 'ruang' berdimensi pribadi dan budaya
Tanpa kita sadari, mata menuntun untuk berjalan sambil melihat seperlunya agar tidak membahayakan aksi berjalan tersebut pada anggota tubuh kita. Kita hanya melangkah dengan pasti apbila langkah itu layak untuk dijalani. Semua pergerakan itu mata-lah yang membimbingnya sehingga kita sampai ke tempat tujuan. Sesekali kita jalan perlahan, kadang berlari kecil, melompat sedikit dan juga berhentisejenak lalu berjalan normal lagi. Aksi tersebut adalah substansi yang lahir dari mata sebagai alat untuk memperjelas arah langkah kita. Setelah kita memahami arah jalan yang harus kita lewati, tanpa kita sadari kita tidak begitu perduli dengan gerak langkah kita karena pengalaman telah menggantikan mata untuk menuntunnya. Saat itulah mata mulai mencari kesibukan lain diluar tugasnya karena telah digantikan oleh pengalaman tadi. Mungkin disaat-saat inikita menggunakan kembali kesadaran yang penuh untuk mencermati lingkungan yang sedang dilewati. Mulai mencari identitas setiap ruang yang ditemui agar lebih memahami kondisi yang ada dan dapat mengambil tindakan dengan cerpat bila ada sesuatu yang mengganggu diluar dari langkah-langkah kaki yang telah dijalani pada tugas sebelumnya. Ruang yang hadir melalui penglihatan kita, itu adalah absolutly... tapi apakah kita sadar akan ke-ruang-an kita sendiri?
Robert Sommer (seorang ahli psikologi) dalam bukunya personal space telah menyadarkan kita bahwa ruang itu ada kemana kita pergi. Ruang itu selalu melingkupi pribadi kita dimanapun, sesaatpun dan kapanpun. Sommer menamakannya dengan gelembung pribadi. Gelembung pribadi bisa membesar dan juga bisa mengecil tergantung kondisi mental yang kita alami pada saat dan tempat ketika itu. Ketika kita sendiri dimalan sepi, gelembung pribadi itu akan membesar sejauh indera kita menerima geometri lingkungan. Dan gelembung pribadi itu bisa mengecil melekat pada kulit tubuh kita di saat ramai, padat yang hingar bingar atau hiruk pikuk. Ternyata setelah memahami gelembung pribadinya Sommer, 'ruang' tidak akan terhapus oleh tempat, 'ruang' melekat pada pribadi diri kita sendiri untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan tempat-tempat di luar dari diri kita. Gelembung pribadi itu akan setia melingkupi segala pergerakan kita. Gelembung pribadi tidak akan pernah bergeser maknanya menjadi 'tempat pribadi'. Maka semua ruang dapat diproduksi menjadi tempat, kecuali ruang yang bernama gelembung pribadi. Ia adalah ruang yang selalu murni, tidak mengenal reinkarnasi dan ia akan selalu patuh untuk terus menemani diri hingga raga tidak kuat lagi.
Kalau pemikiran kita beranjak lebih luas lagi, Edward T. Hall (Budayawan) juga menawarkan pemahaman ruang yang lebih kompleks lagi yaitu proxemics. Proxemic dapat dipahami sebagai instrumen untuk membuktikan kebenaran adanya gelembung pribadi karena ia lahir atas reaksi sikap mental antar sesama manusia yang dipengaruhi oleh nilai-nilai kebudayaan (cara hidup) yang di anutnya. Hal ini sangat mempengaruhi kebedaraan ruang yang tercipta, baik berupa efek reaksi bagi gelembung pribadi setiap manusia maupun penciptaan tempat yang tercipta berasal dari reaksi gelembung pribadi setiap manusia tersebut.
Salah satu contoh sikap mental budaya yang berbeda antar manusia yang dapat mempengaruhi dalam memproduksi ruang adalah aksi awal pertemuan manusia. Di Indonesia, awal pertemuan dua manusia laki-laki di tandai dengan bersalaman. Sikap tersebut cukup hanya sampai disitu, kemudian lalu mulai berbicara dengan kondisi tertentu. Walau kadang juga saling bersentuhan pipi sambil berpelukan sejenak, sikap ini hanya dilakukan oleh manusia satu kelompok tertentu untuk menunjukkan nilai kedekatan tertentu, dan sikap ini tidak menjadi kebiasaan setiap manusia di Indonesia pada umumnya. Berbeda halnya dengan masyarakat yang ada di Saudi Arabia, awal pertemuan dua manusia biasanya ditandai dengan bersalaman lalu saling menyentuhkan pipi dengan pipi sambil saling berpelukan. Sikap ini merupakan sikap yang sudah melekat antar mereka seperti kita bersalaman di Indonesia. Bila kita di Indonesia mengalami sikap tersebut seperti di Saudi Arabia, sudah pasti akan merasakan kecanggungan; canggung disana menunjukkan fakta bahwa gelembung pribadi kita akan terganggu karena melakukan suatu sikap yang tidak biasa. Efeknya bagi penciptaan tempat, ruang yang disediakan untuk sikap tersebut di Saudi Arabia akan memerlukan dimensi ruang yang lebih luas dibanding dengan menciptakan tempat tersebut di Indonesia. Karena, Sikap tersebut memiliki durasi waktu yang lebih lama untuk bersikap dari sekedar bersalaman. Atau bisa saja terjadi penumpukan antrian manusia membutuhkan dimensi tempat penerima yang lebih luas dari sebuah tempat yang mampu mewadahi sikap bersalaman. Dari contoh sikap ini, budaya telah terbukti mempengaruhi kapasitas tempat dalam mengolah ruang untuk diproduksi.
Bila kita terus berpindah pada pemikiran yang luas lagi, ruang yang tidak menjadi perhatian pada pada setiap orang pada umumnya dapat mengandung potensi yang luar biasa untuk melahirkan tempat. Dan dalam kelahirannya dapat mempengaruhi gelembung pribadi dan budaya manusia secara umum. Takut, bebas, takjub, dan efek mental manusia lainnya sebagai substansi keberadaan tempat karena tergantung manusia khususnya arsitek apakah dapat melihat potensi tempat tersebut. Berikut ini akan tampil karya arsitektur yang liar karena tempat hadir berasal dari ruang yang tidak biasa untuk mempengaruhi dan mendukung gelembung pribadi dan budaya manusia atas maksud-maksud tertentu.
Rumah pinggir jurang seluas 160 m2 di Kolbotn, Norway Selatan, Oslo
Sepasang suami istri yang ingin memiliki rumah di bibir jurang terjal karena terinspirasi oleh film James Bond. Jarmund adalah seorang arsitek yang mewujudkan keinginan itu. Sebuah rumah dirancang dan dibangun condong ke arah timur di area tersebut.
Jarmund membuatnya bergantung di atas lereng dengan kekuatan kolom baja
yang ramping. Akses masuk dibuat melalui tangga sepanjang lereng
yang naik menuju dataran tinggi menuju rumah. 'Pintu masuk' ini sengaja
dibuat untuk menonjolkan kesan dramatis yang timbul antara volume dan
area di sana. Interior dibentuk dengan memotong ke arah tangga
masuk secara horisontal. Kamar mandi dan kamar tidur dibuat efektif
dengan memanfaatkan ruang-ruang kosong sepanjang koridor. Sedikit
meresahkan, karena rumah yang didirikan terlihat sangat kokoh, sedang
tanah yang menyangganya terkesan rapuh. Namun itulah keistimewaan dan
keajaiban rumah ini. Dinding dengan interior ala birch yang
ditutupi dengan kayu lapis, sedang pada bagian luarnya menggunakan
warna-warna natural berwarna papan semen. Struktur utama yang digunakan
pada rumah ini adalah baja. Lantai dipoles dengan beton bertulang.
Kaca-kaca besar dan bening yang terpampang di dinding menambah kesan
luas dan megah. Sangat kontras dengan tajam dan curamnya bebatuan, rumah
ini memiliki banyak sudut lancip (http://family.ghiboo.com).
Jurang tidak selalu menjadi ruang yang menakutkan bagi sebagian orang. Jurang dapat dikatakan merupakan suatu ruang yang hampir tidak memiliki potensi dijadikan tempat. Jarmund berupaya sebaik mungkin untuk menghilangkan kesan tepi daratan dari jurang agar pemakai merasakan bertinggal di udara. Kenyataan ini diperkuat dengan memperkecil hambatan penglihatan pemakai dari dalam rumah ke alam luar dengan mendirikan dinding kaca seluas mungkin. Selain itu pemakai juga diberi kesempatan untuk merasakan mental kuasa karena kediamannya berada jauh lebih tinggi dari deretan kediaman lain di sekitarnya. Walau pemakai kadang berupaya menghapus rasa takut untuk bertinggal di rumah tersebut, tapi sepertinya pemakai menganggap itulah efek mental diri berupa sensasi yang bisa dinikmati selama tempat tinggal itu berdiri. Atau kenikmatan sensasi itu telah menutupi rasa takut dalam memakai tempat tinggal yang mencirikan seperti itu. Tetapi yang pasti bahwa, jurang sebagai ruang pasif dapat menjadi aktif untuk menjelmakan suatu tempat yang dapat mencuri perhatian masyarakat lainnya.
Kemudian, jika kita makan dengan pemandangan yang bebas, lepas, mungkin akan dapat menambah nafsu makan kita dari kondisi biasanya. Bagaimana dengan restoran di China berikut ini?
Tempat makan yang berada di tengah tebing
Manipulasi pesona pemandangan yang malah mengganggu nafsu makan karena lokasi restoran yang ekstrim
Penampakan desain tempat makan yang memang sengaja mengikuti lereng jurang
Kondisi koridor menuju tempat makan
Penampakan interior resto yang bermandikan cahaya berupaya mengusir rasa takut pengunjung
Tempat masuk resto yang menyembunyikan kesan ruang di dalamnya
Restoran Fangweng yang menggantung ini terletak di Happy VAlley di Xiling Gorge. Restoran ini menawarkan pemandangan alam yang indah disekitarnya bagi para petualang yang berani menginjakkan kaki di dalamnya. Bangunan bata kusam pada bagian pintu masuk restoran tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Kejutan itu akan di dapatkan melalui pintu masuk tersebut. Kita akan menemukan sebuah tempat yang unik untuk menikmati masakan China sambil mengagumi keindahan alam Xiling Gorge. Bila takut ketinggian, maka jembatan beton sempit sepanjang 30 m tergantung secara vertikal di sisi tebing menghadap Sungi Yangtze mungkin akan menjadi mimpi buruk. Untungnya ada pagar logam yang dapat dipegang ketika berjalan menuju ke dalam restoran sebenarnya. Ruangan terada hangat karena diterangi lampu gantung tradisional dan di hias prabotan gaya China. Pemandangan ke luar resto cukup menarik, bila melihat keajaiban Happy Valley atau menonton bungee jumping saat mereka melompat dari jempatan didekatnya. Namun seenak apapun makanan yang disajikan di resto ini apakah dapat memanggil nafsu makan si takut ketinggian (mhttp://duniaandromedaku.blogspot.com).
Dari penampakan keberadaan resto, sepertinya arsitek bukan lagi mendesain ruang, namun lebih kepada kegiatan mengukir tebing jurang layaknya pemahat. Tempat ini sebelumnya adalah ruang yang sangat ditakutkan semua orang. Suatu hal yang mustahil untuk berdiam sementara atau singgah disana. Sebelum adanya resto, ruang yang berada ditengah tebih itu hanya diam dan membisu apakah dia bisa apa tidak diproduksi menjadi tempat. Sehingga atas dasar ini diharapkan agar arsitek peka dan menyadari dengan baik tentang akan keberadaan ruang dan menggali potensi yang ada padanya.
Berikutnya kita akan melihat tempat ibadah di Huasan, China. Tempat ibadah bernama kuil ini mengambil posisi daerah tertinggi untuk mendekatkan umat pada tuhannya.
Penampakan lokasi kuil yang di bawahnya bertebar awan seakan di atas kayangan
Kuil mengambil ruang di leher tebing sebagai tempat ideal dalam memuja tuhannya
Ketika berusaha mendekatkan diri pada Tuhan, boleh jadi sebagian besar
orang akan berpikir untuk menyampaikan doa-doanya di tempat yang damai
dan sepi. Tampaknya, inilah yang menginspirasi banyak orang untuk
mendirikan tempat ibadah di tempat yang tinggi, sunyi, dan berada di
tepi jurang. Dibangun di satu ketinggian di kawasan pegunungan, inilah
parade rumah ibadah yang berdiri tegak di pinggir jurang seraya
dikelilingi keindahan alam yang membuat kita terenyak. Kuil yang terletak di Pegunungan Huashan, Cina, ini tampak bergantung di
sisi gunung. Jika ingin mengunjungi biara ini, kita harus meniti tebing
yang curam dan jalan berbahaya. Kuil Taktshang Tiger ini terletak di ketinggian tebing sekitar 2.300
kaki di atas Bukit Paro, Bhutan. Tengoklah ke bawah biara ini niscaya
kita akan menemukan awan-awan di sana (http://www.republika.co.id/)
Berbeda halnya dengan resto yang telah dibahas sebelumnya. Ruang pada daerah ini cukup sesuai untuk dijadikan tempat ibadah. Sekondisi apapun keberadaan tempat yang dapat mempengaruhi mendatl negatif manusia, tidak akan mempan untuk menghentikan langkah untuk berkunjung ke tempat ibadah ini. Kenapa? karena tempat ibadah adalah suatu tempat yang diyakini dapat mempertemukan manusia dengan tuhannya. Bukan hidup yang harus dipertahankan, namun mati juga tidak masalah di tempat ini. Karena mati di rumah ibadah adalah tujuan sebagian besar manusia dalam mengakhiri hidup atau mengawali kematian.
Berbeda halnya dengan resto yang telah dibahas sebelumnya. Ruang pada daerah ini cukup sesuai untuk dijadikan tempat ibadah. Sekondisi apapun keberadaan tempat yang dapat mempengaruhi mendatl negatif manusia, tidak akan mempan untuk menghentikan langkah untuk berkunjung ke tempat ibadah ini. Kenapa? karena tempat ibadah adalah suatu tempat yang diyakini dapat mempertemukan manusia dengan tuhannya. Bukan hidup yang harus dipertahankan, namun mati juga tidak masalah di tempat ini. Karena mati di rumah ibadah adalah tujuan sebagian besar manusia dalam mengakhiri hidup atau mengawali kematian.
Terakhir, juga kita akan melihat hotel di China. Di ruang yang bagaimana tempat itu hadir?
Eksisting lembah terlihat sengaja diciptakan, bukan dari kondisi yang sudah ada
Memproduksi ruang seakan-akan menciptakan tempat memiliki dunia sendiri
Kondisi hotel pada malam hari berhasil memecah gulita
Hotel terletak di daerah Songjiang yang berdekatan dengan Shanghai ini adalah
hotel yang dibangun di daerah lembah atau jurang dengan kedalaman
sekitar 100 meter (rencananya selesai pada tahun 2009, tetapi penulis tidak tahu apa hotel ini sudah selesai apa tidak saat artikel ini di-publish). Hotel ini nantinya terdiri dari 400 kamar, restoran dan lainnya layaknya
sebuah hotel bintang 5 yang juga dilengkapi dengan permainan di air
(water activities) serta aquarium raksasa yang dapat dinikmati melalui
sebuah restoran dengan kedalaman sekitar 10 meter dibawah permukaan air lembah.
(http://pinkflower9978.blogspot.com). Sayang, tidak disebutkan arsiteknya siapa...
(http://pinkflower9978.blogspot.com). Sayang, tidak disebutkan arsiteknya siapa...
Pada bagian terakhir ini, saya tidak memberikan komentar tentang keberadaan Hotel di daerah Songjiang ini atas makna ruang terhadap tempat atau sebaliknya. Para pembaca dipersilahkan untuk menganalisisnya secara pribadi untuk melihat fenomena ruang di balik tempat itu.
Terkadang para pengambil kebijakan dalam menata perkotaan sangat sulit melihat potensi ruang yang dapat dijadikan tempat yang layak untuk meningkatkan cara hidup dan gaya hidup yang lebih baik di kota. Selain mengasah kemampuan dalam men-desain bentuk bangunan, para arsitek juga harus belajar untuk melihat potensi ruang di lingkungannya agar dapat memberikan konstribusi pembangunan kota pada negaranya. Ruang itu adalah suatu objek yang pemalu, pendiam dan cuek. Dia tidak akan menegur, kalau tidak kita yang menegur di luan. Dia tidak akan menjawab kalau kita tidak bertanya lebih dahulu. Dan dia juga tidak perduli dengan nasehat kita kalau kita tidak memberikan solusi kepadanya.
Dengan keterbatasan waktu, tenaga dan pikiran yang ada, hanya disini dulu ratapan ruang berbau arsitektur yang dapat saya muntahkan. Semoga berguna bagi pembaca dan dapat menggoncang susunan pikiran yang mulai kaku menjadi lebih dinamis. Segala kesalahan dan kekeliruan dalam tulisan ini mohon disampaikan dengan bukti yang mengena dan logis agar kita bisa berbagi dalam pengetahuan arsitektur yang kita senangi ini.
Kata kunci: meratap, ruang, tempat, gelembung pribadi, budaya, produksi ruang
daripada tersinggung dengan ejekan & kritikan, lebih baik diambil manfaatnya sebab adakalanya ejekan & kritikan dari musuh lebih jujur dari pujian seorang teman...
Fastabikhul khairat, Wassalamualaikum, wr.wb.
blackaruni, tiga puluh mei dua ribu tiga belas, 17:40
medan