Jumat, 16 Mei 2014

HERMENEUTIK

Matakuliah Filsafat Dasar Arsitektur


Terkadang ada mata tidak melihat, ada hidung tidak mencium dan ada telinga tidak mendengar. apa yang indera kita punya sama seperti moda yang dapat digunakan untuk mencerap. Ketika tidak mencerap, maka dipastikan bahwa indera tidak bekerja.
Manusia unggul dari makhluk lainnya karena dengan adanya indera itu.

Kali ini kita akan latihan bagaimana melakukan proses dasar bepikir untuk menyampaikan sesuatu melalui sesuatu yang melingkupinya. Dari sana akan terdapat makna sebagai cara berbeda untuk memahami sesuatu yang diamati. Metode berpikir ini bila dilatih akan membuat kita terbiasa tanggapterhadap permasalahan yang kita hadapi, khususnya dalam disiplin ilmu Arsitektur,


CATATAN:
mohon bagi rekan2 yang sudah posting tentang hermeneutik di halaman IDENTITAS, mohon segera di copas jejak pemikirannya pada Halaman ini untuk memudahkan pembaca tentang apa yang sedang kita lakukan. terimakasih...

Minggu, 20 April 2014

Fenomena Taman Riyadah - Kota Lhokseumawe



Abstrak
Taman Riyadah merupakan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka bukan hijau di kota Lhokseumawe. Nilai keunikan taman ini karena berada di antara dua jalan utama masuk dan keluar kota Lhokseumawe. Kemudian Taman Riyadah adalah taman yang terletak diantara gedung-gedung yang dipergunakan sebagai tempat karya dan bangunan pertokoan sebagai tempat aktivitas ekonomi penduduk setempat. Sejalan dengan pertumbuhan populasi manusia di kota Lhokseumawe, maka dikhawatirkan lahir kebijakan terhadap taman tersebut untuk dipindahkan atau digusur karena perluasan jalan raya Kota Lhokseumawe. Sementara ruang terbuka yang mencirikan seperti Taman Riyadah di Kota Lhokeumawe tidak terdapat ruang terbuka sejenis lainnya di kota tersebut. Selain itu, taman kota yang ada di Kota Lhokseumawe sangat terbatas untuk melayani arena santai masyarakat setempat. Ruang terbuka lainnya seperti Lapangan Hirak, Lapangan Korem itu adalah lapangan terbuka sebagai sarana pemerintah daerah dan militer untuk acara rutin dan olahraga kecil bagi masyarakat setempat, bukan mencirikan karakteristik taman kota seperti Taman Ryadah. Oleh karena kondisi tersebut, penelitian ini akan mengungkap keberadaan Taman Riyadah serta memberikan sikap tertentu pada kebijakan yang ditemukan suatu saat nanti apakah taman tersebut harus dipindahkan dengan mempertahankan karakteristiknya atau mempertahankan keberadaannya.
Taman kota bukan hanya sebagai tempat dimana berdiri susunan tumbuhan sebagai paru-paru kota untuk menjaga keseimbangan iklim yang berlaku, namun taman kota merupakan manifestasi bagaimana kota membentuk ruang hidup masyarakat yang menempatinya. Taman kota bukan hanya sebagai titik pandang hijau ditengah kekeringan, tetapi taman kota berpengaruh terhadap mental penduduk kota dalam hidup bermasayarakat.
Dalam mengungkap keberadaan Taman Riyadah akan digunakan penelitian kualitatif praktis dengan metode explanatory approach (pendekatan dengan meninjau dan mengawasi) serta dianalisis secara pragmatis. Sedangkan objek penelitian berupa taman kota yang bernama Taman Riyadah yang terdapat di Kota Lhokseumawe Propinsi Aceh. Pengamatan praktis dilakukan pada pagi, siang, sore dan malam hari untuk melihat sejauh apa masyarakat menggunakan taman tersebut dalam lingkup aktivitas terungkap dalam dimensi habitual.
Dalam melakukan olah data digunakan pemikiran Henri Lefebvre yang mengemukakan tentang produksi ruang untuk menganalisis keberadaan taman tersebut. Kemudian digunakan pemikiran Pierre Bourdeu yang mengemukakan tentang habitus sebagai alat pemikiran digunakan untuk menjelaskan pemakai sebagai pengguna taman. Dari olahan dua pemikiran yang telah diungkap nantinya diharap akan melahirkan kesimpulan apakah Taman Riyadah di Kota Lhokseumawe tersebut akan dipertahankan atau dipindahkan tanpa meninggalkan karakteristik keruangannya semula.
Kata Kunci: ruang terhidupi, habitus, modal sosial, kebijakan

1.      Pendahuluan
Ketika ruang kota telah penuh sesak dipadati oleh bangunan sebagai tempat pemusatan aktivitas manusia dalam karya, maka ketika itu pula permasalahan arsitektural hadir untuk menyelesaikan permasalahan ke-ruang-an untuk membenahi, mengatur serta pendekatan penyelesaian masalah agar ruang karya manusia di kota sebagai tempat mampu melayani daur harinya. Semakin bertambah populasi manusia di kota, maka semakin menipis ruang terbuka yang sangat penting untuk mempertahankan iklim dan membendung kerusakan alam serta dapat memberikan sisi kenyamanan tertentu bagi manusia dalam beraktivitas di kota serta sebagai sarana untuk memupuk jiwa sosial untuk bermasyarakat.
Taman Kota Riyadah merupakan satu-satunya taman yang berguna sebagai sarana hijau dalam lingkup ruang terbuka hijau; dan sebagai sarana pertemuan, titik kunjungan dan bermain anak dalam ruang lingkup ruang terbuka bukan hijau di Kota Lhokseumawe. Ruang terbuka ini merupakan ruang terbuka yang unik karena taman diapit oleh dua jalan raya masuk dan keluar Kota Lhokseumawe ditengah-tengah persimpangan jalur lalulintas yang padat pada waktu-waktu tertentu.
Keunikan taman ini lebih terlihat di saat sore hari yang dijadikan titik kunjungan dengan melakukan aneka aktivitas dari semua kalangan usia. Bagi muda-mudi, taman ini digunakan sebagai tempat berkumpul dan berselancar di dunia maya karena terdapat fasilitas jaringan nirmala. Kemudian bagi kalangan usia lanjut, taman ini digunakan untuk berolah raga dengan mengitari halaman taman yang telah disediakan tapak batu injak bertekstur kasar sebagai pijat refleksi tapak kaki. Sarana ini juga kerap kali digunakan para usia lanjut di malam hari. Anak-anak usia dini juga tidak ketinggalan untuk memanfaatkan taman ini karena di taman ini juga terdapat jasa penyewaan dan penjualan mainan anak di sore hari. Sehingga pada waktu sore tersebut tidak jarang terdapat penjaja mainan anak juga memanfaatkan sisi luar taman atau langsung berada di pinggir jalan raya secara berbaris bersamaan dengan kenderaan pemakai taman terparkir yang terkadang dapat mengganggu kenderaan pemakai jalan raya.
Luasan taman dari waktu ke waktu tidak bertambah semenjak keberadaannya. Taman diisi dengan pepohonan angsana yang rindang tumbuh indah mengelilingi pinggiran taman yang cukup pantas menyambut dan melepas para kenderaan yang hendak masuk dan keluar Kota Lhokseumawe. Disekitarnya berdiri gedung perkantoran berlantai sedang seperti kantor Bank Indonesia, Bank Negara Indonesia dan Bank Mandiri. Kantor-kantor tersebut menghadap Taman Riyadah sebagai titik pandang layak di tengah kota. Luasan taman yang tidak bertambah akan di lawan dengan jumlah kenderaan pemakai jalan yang semakin padat populasinya. Begitu juga halnya dengan pengunjung taman yang terus bertambah lambat laun akan mempertanyakan kembali keberadaan taman tersebut karena suatu saat akan menimbulkan masalah serius bagi pemakai jalan raya.
Berada di taman tersebut dengan memandang lingkungan sekelilingnya akan memberikan pesona tersendiri. Dimana terdapat barisan gedung perkantoran, bunyi klakson kenderaan yang bersautan dan teguhnya pepohonan angsana sambil bernyiur melindungi pemakai taman dari panas. Pesona taman ini tidak terdapat di taman-taman lainnya yang ada di Kota Lhokseumawe. Oleh karena itu diperlukan penelitian praktis guna mengungkap keberadaan Taman Riyadah di Kota Lhokseumawe bagi pemakai agar mamahami sejauh mana pentingnya Taman Riyadah bagi masyarakat setempat agar tanggap terhadap kebijakan yang mungkin saja sewaktu-waktu akan lahir untuk mempertanyakan keberadaan taman tersebut.

2.      Permasalahan Taman Riyadah
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau paling sedikit tiga puluh persen (30%) dari luas wilayah kota, sedangkan proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit dua puluh persen (20%) dari luas wilayah kota. Distribusi ruang terbuka hijau publik disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hirarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang yang ada. Kemudian dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009 tentang isi pelayanan publik yang harus sejalan dengan pengadaan ruang publik oleh karena itu kapasitas pertambahan penduduk seharusnya menjadi acuan dalam menambah ruang-ruang public, bukan sebaliknya. Namun yang terjadi di kota  bahwa populasi penduduk yang semakin meningkat kerap kali mengikis luasan ruang publik seperti ruang terbuka hijau dan ruang terbuka ruang hijau.
Taman kota sebagai ruang terbuka hijau (RTH) adalah suatu ruang terbuka diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi lainnya guna mendukung manfaat langsung maupun tidak langsung seperti keamanan, kenyamanan dan keindahan wilayah perkotaan (Sukawan, 2012:14). Kini, ruang terbuka bukan hijau (RTBH) merupakan ruangan yang memuat sarana aktivitas masyarakat dari berbagai kalangan usia sebagai wadah arena sosial antar sesama. Ruang terbuka bukan hijau dilengkapi dengan jogging track, pedestrian, tempat duduk, taman bermain anak-anak, taman air, dan panggung, dan sarana parkir. Taman Riyadah di Kota Lhokseumawe bukan mencirikan RTH dan RTBH, karena di taman tersebut meliputi keduanya. Vegetasi yang terdapat di taman tersebut mampu menjadi aspek penghijauan ditengah kota dan sarananya yang dapat digunakan masyarakat setempat untuk berkumpul dan berinteraksi antar sesama juga mencirikan RTBH. Karakter taman ini tidak terdapat di sekitar wilayah Kota Lhokseumawe yaitu sebagai RTH dan RTBH.
Beberapa ruang terbuka memang terdapat di Kota Lhokseumawe, namun ruang terbuka tersebut merupakan fasilitas instansi pemerintah dan militer yang digunakan untuk melakukan acara khusus maupun upacara. Sehingga ruang terbuka tersebut memiliki keterbatasan waktu tertentu untuk digunakan seperti layaknya Taman Riyadah. Kemudian ruang terbuka tersebut kerap kali digunakan sebagai arena olah raga oleh anggota instansi dan militer serta masyarakat setempat. Taman Riyadah diperlakukan berbeda, dimana taman ini merupakan suatu tempat yang memberikan menu kesibukan kota dalam tata arena yang hijau. Masyarakat yang datang dipersilahkan untuk memilih aktivitas yang dikehendakinya, seakan-akan taman ini merupakan tempat berteduh atau juga tempat berlindung dari kepenatan oleh sesaknya pusat kota.
Namun bagi diluar pemakai, Taman Riyadah hanyalah sebidang tanah yang dikelilingi pohon-pohon besar nan rindang, sebagai tempat persinggahan mata yang lelah akan cuaca panas nan gersang oleh sekumpulan susunan bangunan kota dan hanya sebagai tempat seadanya yang hanya membagi laulintas pengendara masuk dan keluar Kota Lhokseumawe. Mungkin kekhawatiran hanya terletak hilangnya pohon besar nan rindang tersebut karena dapat melindungi pengendara yang berhenti menanti lampu hijau bila suatu saat taman tersebut dihapus keberadaannya karena mengalah demi memberi keseimbangan perluasan ruas jalan harus sejalan dengan kapasitas pemakai jalan lalulintas kenderaan di kota. Keberadaan Taman Riyadah sangat rentan keberadaannya. Bisa saja suatu saat taman tersebut hilang tanpa pemikiran terlebih dahulu karena dianggap memperbesar jalu lalulintas kenderaan lebih penting dari keberadaan taman kota seperti Taman Riyadah di Kota Lhokseumawe. Maka dari itu penelitian ini hadir sebagai upaya antisipasi agar memberikan pemikiran yang berbeda bila sewaktu-waktu terdapat kebijakan untuk mempertanyakan keberadaan Taman Kota Riyadah.
3.      Metode Penelitian
Kegiatan mempertanyakan dan menjawab dalam penelitian akan menerapkan analisis kritis yang mempertanyakan pendekatan ’pragmatis’ dalam menjawab permasalahan seberapa jauh pentingnya keberadaan Taman Riyadah di Kota Lhokseumawe. Sedangkan analisis lokasi melingkupi pelaku dan fisik taman kota. Untuk mendapatkan informasi tentang pentingnya keberadaan taman kota dilakukan peninjauan langsung ke lokasi objek dengan melakukan pengamatan praktis sesuai dengan waktu-waktu tertentu dalam memakai taman tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kualitatif explanatory approach yaitu dengan pendekatan dengan mengamati dan mengawasi jalannya aktivitas di lokasi studi yang kali ini hanya bersifat praktis. Hasil informasi akan diolah melalui pemikiran pragmatis yaitu penggalian informasi yang terkait dalam mempertanyakan seberapa jauh kemanfaatan Taman Riyadah bagi Kota Lhokseumawe. Hasil pengumpulan informasi akan diolah melalui analisis dalam bentuk praktik sosial dalam lingkup habitus dan bentuk ke-ruang-an dalam produksinya. Hasil penelitian ini diharapkan akan melahirkan suatu temuan yang dapat menghadirkan makna sesungguhnya akan arti keberadaan Taman Riyadah bagi Kota Lhokseumawe.

4.      Lingkup Penelitian
4.1.Taman Riyadah sebagai Ruang Terkonsep
Istilah ‘ruang terkonsep’ (conceived) diambil dari salah satu dari tiga ide produksi ruang yang dikemukakan oleh Lefebvre yaitu ruang terkonsep  (conceived atau imagined), ruang tercerap (perceived space) dan ruang terhidupi (lived space). Leuvebvre menjalaskan bahwa ruang terkonsep lebih kepada bagaimana ruang itu diproduksi atas substansi yang dapat digunakan di masa yang akan datang. Substasi keruangan yang akan hadir telah melalui proses pemikiran atas analisis tertentu serta melibatkan gejala-gejala aktivitas yang melingkupinya.
Taman Riyadah tidak begitu saja hadir tanpa penciptaan terlebih dahulu oleh tangan dan pemikiran manusia. Dari wujud keberadaannya terdapat batasan yang jelas untuk membedakan ruang taman kota dengan ruang lalulintas kenderaan. Pada batas ruang taman sengaja disusun pepohonan angsana untuk melindungi aktivitas yang ada di dalamnya agar tidak terkena langsung oleh teriknya cahaya matahari dan turunnya hujan. Terdapat mini plaza (perkerasan mini) sebagai arena tempat bermain anak, pola peletakan bangku taman, dan pola sirkulasi batu injak bagi manula.
Oleh karena itu, penciptaan taman kota ini telah menentukan untuk apa dibuat, dan digunakan oleh siapa serta aktivitas yang bagaimana dapat diberlakukan. Seiring waktu berjalan setelah penciptaan taman ini, ternyata masyarakat dapat menerima keberadaannya. Taman Riyadah bukan hanya sebagai hiasan kota, namun telah sibuk melayani masyarakat yang datang pada waktu-waktu tertentu khususnya di sore hari untuk beraktivitas di dalamnya.
Melalui pengamatan praktis bersifat meninjau pada waktu-waktu tertentu serta mengawasi berbagai aktivitas yang terjadi di dalamnya, ternyata Taman Riyadah mulai perlahan memiliki identitas yang tidak dapat digantikan oleh taman lainnya. Gejala-gejala yang di analisis dari awal penciptaannya ternyata sesuai dengan keinginan aktivitas masyarakat. Sistem keruangan yang ada nyaris tidak membatasi masyarakat untuk saling beraktivitas. Anak-anak bebas bermain tanpa khawatir akan terjadi pelebaran ruang aktivitas sampai ke sisi jalan lalulintas yang akan membahayakan fisik anak. Para muda-mudi bebas berinteraksi dengan tenang di bangku-bangku taman saling ngobrol tanpa terganggu kebisingan yang berasal dari padatnya kenderaan. Serta para manula juga dengan santai mengitari batu injak tanpa khawatir terganggu oleh aktivitas anak-anak yang bermain.
Keberadaan fisik taman Riyadah yang diungkap melalui ruang terkonsep ternyata telah diterima baik oleh masyarakat. Keberadaan ruang taman kota juga telah memberikan nilai lebih karena dapat menerima aktivitas masyarakat dari semua kalangan usia. Namun terbersit pertanyaan atas keberadaan fisik taman tersebut tentang bagaimana membuktikan bahwa taman tersebut diterima baik oleh masyarakat. Pembuktian akan lebih mengena apabila ada penjelasan yang mengungkap keberadaan taman telah menyatu dengan mental pemakainya. Maka dari itu selanjutnya akan dijelaskan bagaimana perilaku masyarakat didalam taman serta pola aktivitas yang terjadi dalam lingkup habitus.

4.2.Pola Aktivitas Habitual Taman Riyadah
Istilah habit diambil dari pemikiran Pierre Bourdieu yang menyatakan bahwa habitus bukanlah suatu  prilaku yang hadir atas kehendak bebas dari individu atau juga ditentukan oleh susunan pemikiran hendak me-laku-kan, namun diciptakan oleh semacam interaksi yang berulang dari waktu ke waktu sehingga terbentuk disposisi yang baik dari peristiwa masalalu hingga terbentuk struktur; habitus ini terbentuk dan bereproduksi secara tidak sadar, tanpa sadar mengejar koherensi dan tanpa konsentrasi yang sadar. Petikan singkat atas pemikiran Bourdieu tentang habitus bahwa habitus hadir tanpa pemikiran, indera yang ada di tubuh manusia merupakan alat untuk menentukan apakah prilaku yang sedang berlangsung baik untuknya ditentukan oleh pola aktivitas yang terjadi. Ketika prilaku itu merasakan manfaatnya, maka secara tidak langsung telah meninggalkan jejak pemikiran sebagai awal terciptanya peristiwa lalu yang baik. Oleh karena itu, untuk mengulang peristiwa yang telah lalu apakah dilakukan kembali atau tidak tergantung kesimpulan yang dirasakan fisik individu tersebut.
Taman Riyadah keberadaannya secara tidak langsung telah menciptakan daya tarik ruang menjadi tempat di tengah kota untuk melakukan aktivitas. Rindangnya barisan pepohonan yang melidungi sebagian ruang taman telah mengambil kesimpulan bagi yang melihatnya untuk dapat mereasakan sejenak keteduhan tempatnya. Tidak ada terdapat pemikiran sedikitpun bagi masyarakat yang mengunjunginya akan bahaya yang suatu saat mungkin saja di alaminya seperti tiba-tiba meledaknya SPBU yang berada di belakang taman tersebut, atau juga melebarnya aktivitas hingga ke badan jalan lalulintas kenderaan bermotor hingga terjadi suatu kecelakaan. Tak ketinggalan juga bagi para pedagang yang mengambil tempat secara sepihak di sisi luar taman untuk menjajakan barang dagangannya juga secara tidak sadar telah mengurangi luas jalan kenderaan sebagai sebab utama kemacetan lalulintas disekitar taman. Satu keinginan masyarakat yang melihat taman tersebut yaitu bagaimana mencapai dan merasakan keberadaan taman tersebut tanpa memikirkan efek negatif yang terjadi dikemudian waktu.
Mengapa masyarakat bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu efek negatif dalam menuju Taman Riyadah? Bourdieu menyebutnya sebagai ‘modal sosial’ yaitu individu memiliki kekuasaan tertentu untuk bertindak walau melakukannya dengan tanpa sadar tertentu. Modal sosial adalah kuasa dan selanjutnya akan me-kuasa-i. Proses ini merupakan partikel susunan prilaku sebagai bibit terbentuknya struktur sosial antar individu.
Pola struktur prilaku masyarakat dalam menggunakan Taman Riyadah dapat digambarkan melalui narasi berikut ini yang disusun berdasarkan kelas usia secara umum (kalangan), yaitu:
-      Anak-anak: bersama orangtuanya menuju Taman Riyadah dengan menggunakan kenderaan atau dipandu dengan berjalan kaki mungkin karena lokasi tempat tinggal berdekatan dengan taman. Setelah sampai di taman, para orangtua membiarkan anaknya terlebih dahulu mengamati secara umum tentang kondisi keberadaan ke-ruang-an taman. Setelah selesai mengamati, anak disadari dengan keberadaan arena permainan yang dapat mungkin dapat menyenangkannya. Hal yang menarik perhatian anak lebih kepada kondisi bersifat mainan di tempat tersebut yaitu arena buatan ketangkasan bermain anak dan kenderaan mainan yang dapat dikendalikan oleh anak yang disediakan penjaja sewa permainan anak. Kemudian anak mulai menentukan secara pribadi aktivitas bermain yang akan dilakukannya. Namun anak masih memiliki kendali aktivitas karena orangtuanya sangat memahami mainan terbaik untuk anaknya. Maka tingkat nilai kekuasaan sosial anak dalam hal ini sangat terbatas karena seluruh aktivitasnya di tentukan oleh orangtuanya di taman ini. Setelah beberapa lama waktu tertentu, anak akan dibimbing orangtuanya untuk kembali pulang ke tempat tinggal.
Begitulah rekam jejak aktivitas anak saat pertama sekali mengenal Taman Riayadah. Maka sejak saat itu pula keberadaan Taman Riyadah meninggalkan jejak peristiwa dalam pemikiran anak. Akan terpola aktivitas itu menjadi sebuah habitus atau tidak tergantung waktu yang akan datang. Ternyata keberadaan Taman Ryadah telah berhasil membentuk habitus anak dan memohon kepada orangtuanya untuk dapat mengulang peristiwa telah lalu di taman tersebut. Hal ini berlaku umum pada anak-anak lainnya. Atas kondisi ini, Taman Riyadah telah membuka dirinya bagi anak-anak dan orangtua untuk melakukan aktivitas bermain dengan mengurung rapat-rapat segala efek negatif yang terkandung didalamnya menjadi suatu aksi seiring sejalan dengan kondisi fisik yang dimiliki taman.
-      Remaja: pada kalangan ini, mereka tidak dibimbing oleh orang tuanya untuk menuju taman, melainkan mengambil tindakan secara pribadi ataupun kelompok dengan menyebar ke seluruh ruang kota yang dapat dijangkaunya. Taman Riyadah merupakan salah satu tujuan kuat untuk disinggahi dalam melakukan aktivitas tertentu. Pada awal kedatangannya ke taman ini, mereka tidak begitu memperhatikan setiap sudut ke-ruang-an taman secara seksama namun hanya tertuju kepada tempat yang terlindungi dari teriknya panas matahari. Kalangan ini memilih tempat tidak untuk bermain seperti anak-anak, namun hanya untuk berselancar di dunia maya dengan memanfaatkan hotspot internet yang telah disediakan oleh pemerintah setempat maupun dengan menggunakan paket internet secara pribadi. Selain itu aktivitas kalangan ini hanya berbincang antar sesama kadang dengan berbicara lembut atau dengan suara yang keras, dan bahkan juga dialog diisi dengan tawa terbahak-bahak. Setelah saling berinteraksi dalam jangka waktu tertentu mereka beranjak dari taman menuju tempat tinggal masing-masing.
Kalangan ini tidak memerlukan dimensi ruang yang luas untuk melahirkan aksi. Syarat tempat yang dituju hanya sedikit ruang yang mampu melindungi mereka dari panas teriknya matahari dan cukup ruang untuk berkumpul untuk bisa saling memahami antar komunikasi yang hadir. Habitus hadir pada kalangan ini umumnya berdasarkan kelompok antar kalangan mereka, bukan berdasarkan individu. Karena individu pada kalangan remaja tidak tidak memiliki modal sosial untuk menyendiri kecuali sedang mengalami tekanan mental tertentu. Keberadaan Taman Riyadah bagi kalangan remaja ternyata bernilai positif karena taman mampu melayani aksi berkumpul mereka walau dengan kriteria ruang yang berbeda dengan ruang bermain anak.
-      Manula: Manusia usia lanjut, kalangan ini memiliki kuasa berupa modal sosial yang cukup baik secara individual. Ia adalah kalangan yang sangat unik. Tidak terbatas oleh waktu untuk mengunjungi Taman Riayadah sesuai dengan keinginannya termasuk di malam hari, yaitu waktu dimana dua kalangan yang telah diungkap sebelumnya cenderung jarang atau tidak sama sekali mengunjungi taman. Kalangan ini menggunakan taman secara umum untuk mengitari batu injak yang dipercaya dapat menyehatkan badan dari pennyakit reumatik. Arena batu injak dijalani tanpa alas kaki semampunya. Dengan adanya arena batu injak, para manula memiliki ruang tersendiri untuk beraktivitas di dalam taman. Dan dari sisi pribadi manula sendiri terlihat rasa memiliki terhadap taman. Kalangan ini tidak begitu perduli untuk mengamati seluruh kapasitas ruang yang terdapat di dalam taman untuk memulai aktivitas maupun interaksi sosial seperti kalangan lainnya. Mereka langsung menuju arena batu injak dan langsung menggunakannya. Setelah dirasa cukup menggunakan batu injak, mereka pun keluar dari Taman Riyadah.

Aktivitas manusia dari berbagai kalangan dalam menggunakan Taman Riyadah memiliki orientasi aktivitas yang berbeda-beda sesuai dengan keinginan atau kuasanya. Dari berbagai ungkapan aktivitas dari berbagai kalangan dapat diambil kesimpulan bahwa Taman Riyadah merupakan suatu tempat yang mengundang masyarakat setempat untuk beraktivitas di dalamnya sebagai awal yang mendorong lahirnya nilai-nilai kebiasaan menjadi habitual. Habitual aktivitas yang bisa kita saksikan sekarang di Taman Riayadah merupakan aktivitas yang sudah terbentuk menuju kesatuan atas hasil jelmaan kesesuaian antara prilaku manusia dengan tampat. Mengapa bukan habit, tapi habitual? Habit merupakan pola aktivitas yang me-ruang di dalam taman sehingga membentuk pola keruangan yang dapat disebut dengan habitual karena taman telah menciptakan bentuk-bentuk habit kalangan secara empiris yang dapat dilihat melalui pola aktivitas kalangan.

5.      Habitual Menuju ‘Dunia’ Taman Kota
Habitus dan ranah menurut Bourdieu merupakan hubungan dua arah muncul menjadi suatu citra yang pada konteks ini pada suatu tempat, Taman Riayadah. Habitus sebagai subyek dan ranah sebagai objek, ranah akan menghantarkan subjek kepada praktik. Maka praktik inilah yang memiliki kecenderungan sebab terciptanya simbol. Alur pemikiran subjek dan ranah menjadi praktik merupakan pemikiran rekayasa berasal dari pemikiran Bourdieu dalam mengungkap hubungan antara habitus, ranah dan simbol direproduksi untuk mengungkap karakter Taman Riyadah.
Simbol merupakan bentuk yang sangat mudah dipahami semua orang. Simbol merupakan simpul kehadiran segala sesuatu yang melingkupinya. Simbol juga merupakan dunia kecil yang duduk berdampingan dengan dunia lainnya di dalam semesta. Masing-masing simbol di dalam semesta memiliki identitas tertentu yang menyebabkan perbedaan dengan simbol lainnya. Berbeda karena karakter yang dimilikinya dan tak dapat tergantikan dengan karakter lainnya.
Jika kota sebagai semesta, maka taman dapat disebut sebagai salah satu dunianya. Diantara banyaknya taman yang ada di kota, masing-masing taman kota tersebut pasti memiliki karakter tersendiri. Bila melihat taman kota secara umum, sangat sedikit terdapat taman-taman kota yang dapat membuka dirinya (prevalency endogenous) melainkan bahwa taman tersebut telah menentukan secara pribadi sebagai ruang terkonsep harus bagaimana habitus memperlakukannya. Taman kota akan membentuk dirinya tersusun atas prilaku, misalkan suatu taman yang hanya untuk dilihat maka taman akan tersusun dari tumbuhan-tumbuhan perdu dan bunga-bunga berwarna-warni dengan air mancur seadanya tanpa ada penyusun pelindung yang menjelaskan bahwa pengunjung tidak diperkenankan untuk singgah di dalam taman itu pada jangka waktu yang lama. Sehingga hampir dipastikan habitus tidak akan terjadi didalam taman.
Kemudian ada juga taman yang terdiri dari hamparan penyusun rumput yang luas. Hal ini berarti menjelaskan bahwa taman tersebut dipergunakan untuk kepentingan tertentu dan juga dapat digunakan dengan aktivitas tertentu pada waktu-waktu tertentu, tidak sepanjang waktu. Namun ada juga penyusun taman yang terdiri dari arena alat peraga untuk berolah raga. Taman ini juga sudah menetapkan tentang cara pakai taman pada waktu-waktu tertentu yaitu di pagi hari dan sore hari. Atau taman yang hanya dapat dipakai sebelum dan sesudah waktu terik matahari. Dari berbagai identitas taman-taman kota yang telah dijelaskan tersebut telah menentukan karakternya secara pribadi dalam lingkup ruang terkonsep. Bukan subjek yang menentukan harus beraktivitas apa, tetapi taman kota tersebut yang menentukan aktivitas pengunjung. Sehingga subjek akan menentukan prilakunya sebagai apa dan menyesuaiakannya dengan karakter taman, kemudian terjadilah pencapaian menuju taman kota tertentu sesuai kuasa yang dimiliki oleh pengunjung.
Taman Riyadah, merupakan tempat hybrid habitual. Didalamnya terdapat penyusun taman kadangkala menentukan harus berprilaku terhadap aktivitas pada sisi ruang tertentu, dan didalamnya juga terdapat pemindahan kekuasaan habit untuk berprilaku bagi subjek. Susunan pohon angsanya yang rindang bukan saja telah mengundang kalangan untuk singgah ke dalam taman, namun Taman Riyadah mempersilahkan kalangan yang datang untuk berprilaku tertentu atas penyusun yang dimilikinya. Nyiurnya angin yang saling bersahutan serta tersaring kapasitas panasnya cahaya matahari telah menciptakan kenyaman tertentu untuk menetap sementara  beraktivitas di taman ini. Semua kalangan yang ada di dalam taman dapat menjalankan aktivitasnya masing-masing tanpa kendala yang berarti beradasarkan benturan segala aktivitas yang terjadi. Terciptanya hubungan sosial antar kalangan secara perlahan telah menciptakan bentuk kebiasaan (habitual) sebagai tempat atau ranah yang memancarkan simbol atas karekater masyarakat setempat.
Dengan adanya karakter Taman Riyadah sebagai tempat yang memiliki sifat prevalency endogenous, maka dapat disimpulkan bahwa taman tersebut merupakan jelmaan dialektik, atau bagian unsur penentu dalam melihat karakter masyarakat setempat antara taman dengan kota. Taman Riyadah bagi kota merupakan susunan yang menyambut atau keinginan awal untuk memahami karakter masyarakat setempat. Semesta hadir karena terdiri dari berbagai simbol, permasalahan yang ada di semesta secara umum merupakan juga permasalahan simbol secara khusus. Citra semesta akan baik bila simbol memiliki citra yang baik pula. Oleh karena itu, simbol sebagai Taman Riyadah merupakan salah satu unsur penentu dalam kemajuan semesta sebagai kota. Atau ungkapan yang lebih empiris bahwa Kota Lhokseumawe akan luntur maknanya tanpa keberadaan Taman Riyadah.

6.      Modal Simbolik Keberadaan Taman Riyadah
Pada pembahasan sebelumnya, kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa atas menyatunya unsur kota antara masyarakat dengan Taman Riyadah di Kota Lhokseumawe merupakan pemahaman dialektik prevalency endogenous yaitu permukaan terbuka yang saling mengisi untuk membentuk citra kota dalam memahami permasalahan ke-ruang-an yang terkandung di dalamnya.
Tempat merupakan moda ranah lingkup aristektur dimana akan memperlihatkan gejala-gejala tertentu. Moda tersebut adalah merupakan modal simbolik bagi Kota Lhokseumawe menjadi salah satu identitas yang dimilikinya. Sedangkan identitas merupakan suatu gambaran jati diri yang tidak bisa digantikan dengan citra yang lain. Runutan pemikiran demi pemikiran untuk membuktikan bahwa Taman Riyadah merupakan suatu tempat yang tidak bisa dipisahkan bahkan dihilangkan dari Kota Lhokseumawe, karena dengan memisahkan atau menghilangkan Taman Riyadah sama juga artinya dengan menghilangkan identitas Kota Lhokseumawe itu sendiri.
Kota yang baik pasti memiliki perkembangan, baik ditinjau dari populasi penduduknya maupun kapasitas bangunan yang menutupi permukaan tanah kota tersebut. Namun keberadaan Taman Riyadah di Kota Lhokseumawe bukan berarti menjadi salah satu sosok penghambat kemajuan kota, melainkan titik awal pembangunan kota itu sendiri. Dengan adanya pelebaran jalan raya karena didesak olehderasnya peningkatan jumlah kenderaan di Kota Lhokseumawe bukan berarti memindahkan atau menghapus taman tersebut kemudian permasalahan usai terjawab, tetapi dikhawatirkan akan menambah lahirnya permasalahan kontingensi sosial yang lebih kompleks lagi sekaligus menghambat kemajuan kota.
Setiap tempat memiliki identitasnya masing-masing, tidak dapat digantikan dengan karakter lain. Atau juga tidak dapat digantikan dengan tempat yang baru dengan muatan dan kapasitas walau mengacu pada habitual sebelumnya. Ranah tempat dalam arsitektur tidak dapat diciptakan begitu saja. Identitas keberadaan tempat agar menyatu dengan pemakainya membutuhkan proses. Proses tersebut hadir melalui dinamika yang dapat dibaca jejaknya. Berarti, dengan menciptakan Taman Riyadah di tempat yang baru tidak akan sama prosesnya untuk dapat menjadi habitual Taman Riyadah yang saat ini dirasakan.

7.      Memutus Substansi Akan Lahirnya Kebijakan
Kebijakan belum tentu bijaksana. Dengan mempelajari proses terbentuknya kota-kota melalui taman kota yang ada di Indonesia, ada baiknya dilakukan penelitian terlebih dahulu dengan membuat hipotesa awal sebagai upaya antisipasi menyelamatkan modal simbolik identitas kota agar dipertahankan keberadaannya. Kebijakan merupakan suatu keputusan para aparatur negara untuk menyikapi segala permasalahan yang terjadi di lingkungannya. Terkadang kebijakan tersebut hanya terorientasi pada satu penyelesaian permasalahan tanpa melibatkan bias permasalahan baru yang lebih kompleks lagi. Dengan memindahkan atau menghilangkan Taman Riyadah di Kota Lhokseumawe pada suatu saat nanti adalah bukan penyelesaian masalah dalam memperlancar kapasitas jalan raya yang penuh sesak di suatu saat nanti.
Hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa proses penyatuan antara Taman Riyadah dengan penduduk setempat tidak terjadi dalam waktu yang singkat. Disana terdapat penjelasan tentang citra Kota Lhokseumawe untuk melangkah menjadi kota yang maju. Di Taman Riyadah, masyarakat memiliki kekuasan sosial yang cenderung tersimpan yang tidak terlihat dimata kebijakan. Dengan mengamati dan mengawasi aktivitas tempat tersebut akan dengan mudah melihat habitual sistem ke-ruang-an yang terhidupi bagi masyarakat setempat pada waktu-waktu tertentu dalam daur harinya. Di taman itu juga memperlihatkan dengan jelas nilai-nilai kejujuran sosial dalam memakai tempat, dan di sana juga memperlihatkan kepolosan tempat hadir untuk menerima tamunya dengan hangat.
Namun juga disadari bahwa temuan dari penelitian ini memiliki banyak kekurangan karena memiliki batasan yang sangat sempit dalam mengungkap keberadaan Taman Riyadah bagi masyarakat setempat hanya dalam lingkup habit dan produksi ruang dalam ranah arsitektur. Semoga suatu saat nanti lahir pemikiran-pemikiran baru yang dapat mengungkap keberadaan Taman Riyadah di Kota Lhokseumawe dalam ranah yang berbeda agar dapat memperbaiki temuan dalam penelitian ini atau sekaligus memperjelas agar keberadaan Taman Riyadah di Kota Lhokseumawe dapat disikapi dengan bijaksana apabila suatu saat nanti lahir kebijakan yang mempertanyakan keberadaannya. Terakhir, penulis juga menyadari bahwa dalam mentransfer apa yang ada dalam pikiran kurang berjalan dengan baik dengan apa yang hendak dituliskan. Oleh karena itu selalu dinanti kritik dan saran yang membangun demi kemajuan pemikiran dan semakin tanggapnya ke-ilmu-an arsitektur dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang ada demi kemanfaatan bagi masyarakat dan negara.

Athira&Almeera



Fastabikhul khairat, Wassalamualaikum, wr.wb.
blackaruni, dua puluh satu april dua ribu empat belas, 00:54
medan


Kamis, 17 April 2014

Matakuliah Filsafat Arsitektur

IDENTITAS

Indera manusia terbatas atau tidak tergantung isi yang ada dalam pikirannya. Hadir akan menjadi nisbi bila tidak berpikir; Empiris akan menjadi Laten juga karena pikir. Pikir hanya sebuah fasilitas dari seorang manusia. Dia ada dan tiada tergantung manusianya. Di luar itu hanya habit.

Dalam memahami sesuatu gejala, tanggap permasalahan membutuhkan perhatian yang lebih dari biasanya. Apakah itu mengalir atau tidak tergantung seberapa jauh penggalian yang dilakukan tentang permasalahan itu. Kumpul, susun, arahkan, adalah pola dasar dalam proses berpikir.

Mari kita alami proses itu sebagai awal melihat sebarapa jauh arti kekuatan pikir kita sekaligus sebagai tapal dalam melakukan pendekatan dalam menjawab permasalahn arsitektural yang akan datang. Konteks mengungkap keberadaan GLAMOR dan METROSEKSUAL sebagai jargon sosial perkotan untuk melihat makna yang tersimpan di dalamnya. Bukan sebagai tujuan, namun belajar membuka cangkang terkuat berupa cakrawala sebagai tempat persembunyian terbaik sebuah 'makna'...


Silahkan posting pemahaman Anda dan mari kita diskusikan...
terimakasih...


Staf Pengajar Filsafat Dasar Arsitektur
Universitas Malikussaleh

Kamis, 28 November 2013

RANAH PENELITIAN ARSITEKTUR UNIMAL 2013


Pada bagian ini, mahasiswa dipersilahakan untuk meng-uploud isi proposal penelitiannya untuk didiskusikan agar memberikan pemahaman kepada mahasiswa/i atas apayang hendak akan diteliti...

Atas segala peransertanya saya ucapkan terimakasih...

regards...

Kamis, 30 Mei 2013

Meratap Ruang

Sebelum membaca tulisan Italic di bawah ini, saya memohon pada pembaca untuk menghela nafas tiga kali terlebih dahulu... terimakasih.
 

Setelah lama meringkuk diam terpaku tanpa mampu beranjak sedikitpun tenggelam dalam buai. Walau buai itu masih hangat dipelukan, ntah kenapa batin tersentak, lalu tersadar. Perlahan, bola mata mulai bergerak-gerak beberapa derajat karena takut terluka setelah menyungging lelah, sedikit demi sedikit dengan bersusah payah membuka kelopaknya. Sedikit demi sedikit pulalah warna-warna mulai menghampiri sambut-menyambut memancarkannya melalui cahaya. Seakan-akan mereka mempertanyakan kabar, rasa, hasrat dengan kesenduan yang dimilkinya. 
Tetapi kok cuma bayang-bayang muda yang datang. Kemudian mata membujuk syarafnya berjalan ke hati untuk menyampaikan pesan berharga mencoba mencicipi indahnya di luar ringkuk-an ini. Tak lama hati berbisik-bisik sendiri, mendecak dan bergumam untuk melancarkan tenaga terakhir yang ia punya. Setelah tak mampu lagi hati sibuk sendiri, tanpa sadar, jari-jari tangan yang beku mulai tersentak, gemeriak kecil seakan-akan ingin sekali menggengam, melumat dan memecahkan apa yang bisa diraihnya walau sadar pasti tak mampu ia melakukan itu. 
Seketika itu juga lutut ikut gemetar, bergoyang dan menghentakkan kekakuannya. Sepertinya ingin rasanya ia melompat setinggi-tingginya dan tidak ingin lagi kembali ke dasar tapi otot-otot sangat marah dan tak mengizinkan ia untuk melakukannya. 
Apa ini...! Kenapa sepi yang selalu datang... Sampai kapan ia mengurungku begini.. Ambillah aku putih! Mohon sirami aku cahaya mu... Mohon bangkitkan aku dari sini... Walau sanggup aku begini seribu tahun lagi, tetapi maya nya terus memaksaku merangkak, berjalan, berlari dan melayang... aku sadar tak dapat melakukannya secepat itu, dan secepat yang dia mau. Sentuhlah kuku ku, usaplah ia perlahan, siramilah cahayaMu pada ku, lindungilah aku untuk tetap selalu dalam bisikanMu agar maya itu tidak mau lagi menggangguku.
Akhirnya, tidak pantas lagi sepertinya aku beranjak karena pancaran cahayaMu, tapi ketika maya itu datang aku pasti takut... Aku mohon, jangan lepaskan cahayaMu walau kita sangat jauh.

Siapakah Aku...? pasti bingungkan menjawabnya..., pengen tau aja apa pengen tau bangeeet...? hehehe, mari kita telusuri pemikiran berikut ini..


Istilah kata meratap dalam bahasa Indonesia berkata dasar 'ratap' yang lebih cenderung bermakna 'wail' dalam bahasa Inggerisnya dan aplikasinya lebih mengarah ke kata benda. Ketika di bubuhi awalan 'me' menjadi 'me-ratap', maknanya jadi bergeser dan dalam bahasa Inggeris-nya menjadi 'lament' yang lebih cenderung digunakan sebagai kata kerja. Istilah 'lament' hadir pertama sekali pada abad ke XV, pada zaman Inggeris pertengahan namanya 'lementen', pada zaman Perancis pertengahan namanya 'lamenter', pada zaman Latin pertengahan namanya 'lamentari' yang asal katanya itu 'lamentum'. Istilah 'lament' dalam bahasa Inggeris artinya sikap mengekspresikan kesedihan, duka dan menyesal efek yang demonstratif (kamus Merriam Webster). Dari arti tersebut dapat kita ambil makna bahwa 'lament' adalah sikap yang dipastikan lawan dari senang, gembira atau bahagia. Berbeda halnya dengan kata 'ratapan', karena istilah ini merujuk kepada kata benda; benda tersebut dipercaya menjadi objek sebagai tempat atau arah dalam sikap merasakan mental atau jiwa yang sedang lemah karena pengalaman-pengalaman atau kepercayaan tertentu. Sedangkan 'lament' atau 'me-ratap' diidentifkasi telah mengalami atau merasakan sesuatu yang dapat mempengaruhi mental dalam kondisi tertentu muncul tanpa membutuhkan objek atau tempat tertentu, sehingga timbul reaksi sebagai jelmaan aksi untuk mengurangi beban mental atau jiwa yang terlalu berat di pendam. Aksinya bisa saja menangis tersedu dalam posisi leher yang layu, teriak tak tentu arah, berkata-kata dengan nada yang cukup keras tanpa kejelasan yang tak tentu arah, dan meringkuh kaku sedekat-dekatnya dengan bumi sambil menutup mata tanpa sadar pikiran terbang melayang dengan liar. Jadi 'me-ratap' ini adalah sikap yang melebihi dari sedih, duka maupun sesal.

Tulisan ini hadir berupaya kuat dengan hati-hati agar sanggup menggelar keberadaan 'ruang' yang terkadang kebanyakan dari kita tidak atau kurang merasakan kehadirannya. 'Ruang' itu bisa jahat, bisa kejam, bisa adil, bisa ramah, bisa kelihatan, bisa kabur, bisa mengikuti, bisa diam, bisa membesar, bisa mengecil, bisa tinggi, bisa rendah, bisa sopan, bisa kurang ajar, bisa datang, bisa pergi, bisa bangun, bisa tidur, bisa menuntun bahkan bisa tak mau tau. Karena sangat luasnya makna kehadirannya, sampai-sampai kita tidak menyadari keberadaannya seperti semut di tengah lautan kelihatan sementara tak sadar ada gajah di depan mata. Maka dari itu, tulisan ini mencoba mengambil sikap meratap agar pembaca memahami bagaimana segala yang melingkupi si 'ruang' untuk dapat berkenalan dengan nya, bersahabat, dan bersama-sama berbuat sesuatu yang terbaik dan terindah bersama nya.


Ruang dan Tempat, bagai si kebar tak sekandung

Ruang dan tempat dalam bahasa Indonesia sedikit sulit untuk membedakannya di mata awam. Ketika kita berhadapan dengan ruang, orang-orang menyebutnya tempat; dan ketika berhadapan dengan tempat, orang-orang menyebutnya ruang. Sehingga kita agak ragu apakah ruang dan tempat si kembar itu, atau mereka berasal dari keluarga yang berbeda dan kebetulan saja ada kemiripan di wajah mereka. Atau ketika kita bertemu ruang, ternyata si tempat namanya; atau ketika bertemu tempat, si ruang ternyata namanya. Apakah de javu ini susah di obati bagai penyakit akut yang sulit sekali untuk disembuhkan.


Pemahaman tentang Ruang dalam Arsitektur terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Di Eropa sejak abad ke 18, para arsitek maupun pemikir arsitektur telah sering menggunakan istilah ‘volumes’ dan ‘voids’, dan kadang-kadang juga menggunakan ‘space’ sebagai sinonim dari istilah-istilah tersebut (sesekali mereka masih menggunakan istilah ruang, tapi pada dasarnya hal itu adalah untuk menjelaskan ruang (space) sebagai sinonim atau bagian dari ruangan dengan aspek-aspek ‘voids’ dan volumes’ di dalamnya, contoh: ‘void space,’ ‘loss of space’. Adrian Forty, hal. 256). Awal mula perbincangan Arsitektur tentang kata ruang (‘space’) sendiri secara resmi baru terjadi kemudian yaitu di Jerman pada tahun-tahun 1890-an yang mana digunakan istilah ‘raum’. Hal ini menimbulkan problem bagi para arsitek yang bukan berasal dari Jerman, seperti di Inggris karena menurut bahasa aslinya ‘raum’ (Jerman) itu menandakan suatu ‘material enclosure’  yang sekaligus juga merupakan sebuah konsep filosofi, sementara dalam bahasa Inggris disebut ‘room’  lebih merupakan sebuah ruangan fisik (Dr. Kemas Ridwan Kurniawan, ST., M.Sc.).

Ketika kita mendengar kata 'ruang', pikiran kita berupaya mengambil kesimpulan tertentu untuk mengidentifikasi kebaradaannya agar tidak salah berinteraksi. Secara umum ya seperti itu kondisinya. Berarti di mata awam, istilah ruang akan hadir bila ada interaksi tertentu. Dan sebaliknya, bila tidak ada interaksi, maka ruang tersebut tidak akan hadir. Namun secara filosofis, ruang itu hadir tidak mengenal adanya interaksi, tetapi sejauh mana kita menyadari kehadirannya. Ruang itu abstrak, semu dan unindentify. Ketika kita menyadari kehadirannya secara absolut, maka makna 'ruang' nya akan hilang dan berubah menjadi tempat atau lokasi (place). Sehingga dapat dikatakan bahwa makna ruang di dalam arsitektur adalah material mentah yang siap kapan saja untuk di produksi menjadi tempat. Misalnya daerah pinggiran tebing sebagai leher jurang, apakah daerah tersebut tidak ada ruang? Kita dapat membayangkannya bahwa daerah tersebut tidak ada interaksi manusia. Secara umum, maka disana tidak ada ruang. Namun secara filosofis arsitektur, itulah ruang. Jadi ruang adalah bentuk bentuk murni sebagai wadah yang melingkupinya.

Bila kita kembali lagi pada praktik pemakaian istilah 'ruang' dan 'tempat' dalam kehidupan sehari-hari, sering kali terjadi kesalahan penempatan kata-kata pada pengucapan maupun penulisan. Hal ini perlu di kritisi dalam ranah arsitektur agar dengan pemahaman kita terhadap ruang dapat menghasilkan kualitas tempat yang dapat mewakili keberadaan ruang itu sendiri menyatu dengan interaksi yang akan hadir. Dalam bahasa pengalamannya, 'ruang' itu benar adalah ruang bila menjadi dasar dalam melahirkan atau menciptakan 'tempat'. Dan 'tempat' itu benar disebut sebagai 'ruang' bisa saja suatu 'tempat' yang telah mati berstatus atau teridentifikasi sebagai 'ruang'-murni. Sehingga bagaimana dengan 'ruang kelas', 'ruang dosen', 'ruang tamu' atau 'ruang... ruang... ruang...' lainnya, itukan nyata dinamakan 'ruang' dan manusia memahami hal itu...! Bila kita coba memahami pemikiran dalam memaknai 'ruang' yang telah kita bahas di atas adalah bahwa 'ruang..ruang...ruang...' itu semua makna hakikinya adalah tempat; ruang murni yang menjelma menjadi tempat. Untuk lebih mudah dipahami oleh indera komunikasi antar interaksi yang telah berlaku, maka 'ruang...ruang...ruang...' tersebut hanya sebagai nama, tanda, kode, bentuk dari keberadaan yang sebenarnya disebut 'tempat' atau ruang yang sudah diproduksi menjadi tempat dan untuk memudahkan interaksi dan komunikasi tertentu diberi nama '-ruang-' ....... dan begitu juga sebaliknya.... (kok kayak diperas otak ini untuk menyampaikannya, huuuffsss...!)

Dari hasil analisis praktis terhadap 'ruang dan tempat', dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa 'ruang' hadir terlebih dahulu dari 'tempat'; 'tempat' tak akan ada jika tidak ada 'ruang' dan 'ruang' atas kehadirannya tidak tergantung dengan 'tempat'. Maka yang pada awalnya kita tidak begitu mempermasalahkan keberadaan 'ruang' dan 'tempat', memperlihatkan mereka seperti si kembar tak sekandung. Artinya bahwa 'ruang' dan 'tempat' memiliki makna yang mirip seperti kembar, namun 'ruang' dan 'tempat' tidak memiliki hubungan apa pun - keduanya hadir untuk di lapaskan, disebutkan, ditulis berdasarkan keinginan aktornya agar mudah dimengerti dan dipahami atas tuntutan yang sudah berlaku membuat keduanya berarti tak sekandung.
Padahal berdasarkan analisis praktis,'ruang' dan 'tempat' itu tidak kembar, namun sekandung. Tidak kembar berarti kita dapat membedakan dengan jelas apa itu ruang, dan apa itu tempat. Sedangkan sekandung, kita memahaminya bahwa 'tempat' pasti hadir karena 'ruang' dan 'tempat' tidak akan ada tanpa 'ruang'.



Mencekuh 'ruang' berdimensi pribadi dan budaya

Tanpa kita sadari, mata menuntun untuk berjalan sambil melihat seperlunya agar tidak membahayakan aksi berjalan tersebut pada anggota tubuh kita. Kita hanya melangkah dengan pasti apbila langkah itu layak untuk dijalani. Semua pergerakan itu mata-lah yang membimbingnya sehingga kita sampai ke tempat tujuan. Sesekali kita jalan perlahan, kadang berlari kecil, melompat sedikit dan juga berhentisejenak lalu berjalan normal lagi. Aksi tersebut adalah substansi yang lahir dari mata sebagai alat untuk memperjelas arah langkah kita. Setelah kita memahami arah jalan yang harus kita lewati, tanpa kita sadari kita tidak begitu perduli dengan gerak langkah kita karena pengalaman telah menggantikan mata untuk menuntunnya. Saat itulah mata mulai mencari kesibukan lain diluar tugasnya karena telah digantikan oleh pengalaman tadi. Mungkin disaat-saat inikita menggunakan kembali kesadaran yang penuh untuk mencermati lingkungan yang sedang dilewati. Mulai mencari identitas setiap ruang yang ditemui agar lebih memahami kondisi yang ada dan dapat mengambil tindakan dengan cerpat bila ada sesuatu yang mengganggu diluar dari langkah-langkah kaki yang telah dijalani pada tugas sebelumnya. Ruang yang hadir melalui penglihatan kita, itu adalah absolutly... tapi apakah kita sadar akan ke-ruang-an kita sendiri? 

Robert Sommer (seorang ahli psikologi) dalam bukunya personal space telah menyadarkan kita bahwa ruang itu ada kemana kita pergi. Ruang itu selalu melingkupi pribadi kita dimanapun, sesaatpun dan kapanpun. Sommer menamakannya dengan gelembung pribadi. Gelembung pribadi bisa membesar dan juga bisa mengecil tergantung kondisi mental yang kita alami pada saat dan tempat ketika itu. Ketika kita sendiri dimalan sepi, gelembung pribadi itu akan membesar sejauh indera kita menerima geometri lingkungan. Dan gelembung pribadi itu bisa mengecil melekat pada kulit tubuh kita di saat ramai, padat yang hingar bingar atau hiruk pikuk. Ternyata setelah memahami gelembung pribadinya Sommer, 'ruang' tidak akan terhapus oleh tempat, 'ruang' melekat pada pribadi diri kita sendiri untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan tempat-tempat di luar dari diri kita. Gelembung pribadi itu akan setia melingkupi segala pergerakan kita. Gelembung pribadi tidak akan pernah bergeser maknanya menjadi 'tempat pribadi'. Maka semua ruang dapat diproduksi menjadi tempat, kecuali ruang yang bernama gelembung pribadi. Ia adalah ruang yang selalu murni, tidak mengenal reinkarnasi dan ia akan selalu patuh untuk terus menemani diri hingga raga tidak kuat lagi.

Kalau pemikiran kita beranjak lebih luas lagi, Edward T. Hall (Budayawan) juga menawarkan pemahaman ruang yang lebih kompleks lagi yaitu proxemics. Proxemic dapat dipahami sebagai instrumen untuk membuktikan kebenaran adanya gelembung pribadi karena ia lahir atas reaksi sikap mental antar sesama manusia yang dipengaruhi oleh nilai-nilai kebudayaan (cara hidup) yang di anutnya. Hal ini sangat mempengaruhi kebedaraan ruang yang tercipta, baik berupa efek reaksi bagi gelembung pribadi setiap manusia maupun penciptaan tempat yang tercipta berasal dari reaksi gelembung pribadi setiap manusia tersebut. 

Salah satu contoh sikap mental budaya yang berbeda antar manusia yang dapat mempengaruhi dalam memproduksi ruang adalah aksi awal pertemuan manusia. Di Indonesia, awal pertemuan dua manusia laki-laki di tandai dengan bersalaman. Sikap tersebut cukup hanya sampai disitu, kemudian lalu mulai berbicara dengan kondisi tertentu. Walau kadang juga saling bersentuhan pipi sambil berpelukan sejenak, sikap ini hanya dilakukan oleh manusia satu kelompok tertentu untuk menunjukkan nilai kedekatan tertentu, dan sikap ini tidak menjadi kebiasaan setiap manusia di Indonesia pada umumnya. Berbeda halnya dengan masyarakat yang ada di Saudi Arabia, awal pertemuan dua manusia biasanya ditandai dengan bersalaman lalu saling menyentuhkan pipi dengan pipi sambil saling berpelukan. Sikap ini merupakan sikap yang sudah melekat antar mereka seperti kita bersalaman di Indonesia. Bila kita di Indonesia mengalami sikap tersebut seperti di Saudi Arabia, sudah pasti akan merasakan kecanggungan; canggung disana menunjukkan fakta bahwa gelembung pribadi kita akan terganggu karena melakukan suatu sikap yang tidak biasa. Efeknya bagi penciptaan tempat, ruang yang disediakan untuk sikap tersebut di Saudi Arabia akan memerlukan dimensi ruang yang lebih luas dibanding dengan menciptakan tempat tersebut di Indonesia. Karena, Sikap tersebut memiliki durasi waktu yang lebih lama untuk bersikap  dari sekedar bersalaman. Atau bisa saja terjadi penumpukan antrian manusia membutuhkan dimensi tempat penerima yang lebih luas dari sebuah tempat yang mampu mewadahi sikap bersalaman. Dari contoh sikap ini, budaya telah terbukti mempengaruhi kapasitas tempat dalam mengolah ruang untuk diproduksi.



Bila kita terus berpindah pada pemikiran yang luas lagi, ruang yang tidak menjadi perhatian pada pada setiap orang pada umumnya dapat mengandung potensi yang luar biasa untuk melahirkan tempat. Dan dalam kelahirannya dapat mempengaruhi gelembung pribadi dan budaya manusia secara umum. Takut, bebas, takjub, dan efek mental manusia lainnya sebagai substansi keberadaan tempat karena tergantung manusia khususnya arsitek apakah dapat melihat potensi tempat tersebut. Berikut ini akan tampil karya arsitektur yang liar karena tempat hadir berasal dari ruang yang tidak biasa untuk mempengaruhi dan mendukung gelembung pribadi dan budaya manusia atas maksud-maksud tertentu.


 Rumah pinggir jurang seluas 160 m2 di Kolbotn, Norway Selatan, Oslo

Sepasang suami istri yang ingin memiliki rumah di bibir jurang terjal karena terinspirasi oleh film James Bond. Jarmund adalah seorang arsitek yang mewujudkan keinginan itu. Sebuah rumah dirancang dan dibangun condong ke arah timur di area tersebut. Jarmund membuatnya bergantung di atas lereng dengan kekuatan kolom baja yang ramping. Akses masuk dibuat melalui tangga sepanjang lereng yang naik menuju dataran tinggi menuju rumah. 'Pintu masuk' ini sengaja dibuat untuk menonjolkan kesan dramatis yang timbul antara volume dan area di sana. Interior dibentuk dengan memotong ke arah tangga masuk secara horisontal. Kamar mandi dan kamar tidur dibuat efektif dengan memanfaatkan ruang-ruang kosong sepanjang koridor. Sedikit meresahkan, karena rumah yang didirikan terlihat sangat kokoh, sedang tanah yang menyangganya terkesan rapuh. Namun itulah keistimewaan dan keajaiban rumah ini. Dinding dengan interior ala birch yang ditutupi dengan kayu lapis, sedang pada bagian luarnya menggunakan warna-warna natural berwarna papan semen. Struktur utama yang digunakan pada rumah ini adalah baja. Lantai dipoles dengan beton bertulang. Kaca-kaca besar dan bening yang terpampang di dinding menambah kesan luas dan megah. Sangat kontras dengan tajam dan curamnya bebatuan, rumah ini memiliki banyak sudut lancip (http://family.ghiboo.com). 

Jurang tidak selalu menjadi ruang yang menakutkan bagi sebagian orang. Jurang dapat dikatakan merupakan suatu ruang yang hampir tidak memiliki potensi dijadikan tempat. Jarmund berupaya sebaik mungkin untuk menghilangkan kesan tepi daratan dari jurang agar pemakai merasakan bertinggal di udara. Kenyataan ini diperkuat dengan memperkecil hambatan penglihatan pemakai dari dalam rumah ke alam luar dengan mendirikan dinding kaca seluas mungkin. Selain itu pemakai juga diberi kesempatan untuk merasakan mental kuasa karena kediamannya berada jauh lebih tinggi dari deretan kediaman lain di sekitarnya. Walau pemakai kadang berupaya menghapus rasa takut untuk bertinggal di rumah tersebut, tapi sepertinya pemakai menganggap itulah efek mental diri berupa sensasi yang bisa dinikmati selama tempat tinggal itu berdiri. Atau kenikmatan sensasi itu telah menutupi rasa takut dalam memakai tempat tinggal yang mencirikan seperti itu. Tetapi yang pasti bahwa, jurang sebagai ruang pasif dapat menjadi aktif untuk menjelmakan suatu tempat yang dapat mencuri perhatian masyarakat lainnya.


Kemudian, jika kita makan dengan pemandangan yang bebas, lepas, mungkin akan dapat menambah nafsu makan kita dari kondisi biasanya. Bagaimana dengan restoran di China berikut ini?


Tempat makan yang berada di tengah tebing


Manipulasi pesona pemandangan yang malah mengganggu nafsu makan karena lokasi restoran yang ekstrim
  

Penampakan desain tempat makan yang memang sengaja mengikuti lereng jurang


Kondisi koridor menuju tempat makan


 Penampakan interior resto yang bermandikan cahaya berupaya mengusir rasa takut pengunjung

 Tempat masuk resto yang menyembunyikan kesan ruang di dalamnya


Restoran Fangweng yang menggantung ini terletak di Happy VAlley di Xiling Gorge. Restoran ini menawarkan pemandangan alam yang indah disekitarnya bagi para petualang yang berani menginjakkan kaki di dalamnya. Bangunan bata kusam pada bagian pintu masuk restoran tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Kejutan itu akan di dapatkan melalui pintu masuk tersebut. Kita akan menemukan sebuah tempat yang unik untuk menikmati masakan China sambil mengagumi keindahan alam Xiling Gorge. Bila takut ketinggian, maka jembatan beton sempit sepanjang 30 m tergantung secara vertikal di sisi tebing menghadap Sungi Yangtze mungkin akan menjadi mimpi buruk. Untungnya ada pagar logam yang dapat dipegang ketika berjalan menuju ke dalam restoran sebenarnya. Ruangan terada hangat karena diterangi lampu gantung tradisional dan di hias prabotan gaya China. Pemandangan ke luar resto cukup menarik, bila melihat keajaiban Happy Valley atau menonton bungee jumping saat mereka melompat dari jempatan didekatnya. Namun seenak apapun makanan yang disajikan di resto ini apakah dapat memanggil nafsu makan si takut ketinggian (mhttp://duniaandromedaku.blogspot.com).

Dari penampakan keberadaan resto, sepertinya arsitek bukan lagi mendesain ruang, namun lebih kepada kegiatan mengukir tebing jurang layaknya pemahat. Tempat ini sebelumnya adalah ruang yang sangat ditakutkan semua orang. Suatu hal yang mustahil untuk berdiam sementara atau singgah disana. Sebelum adanya resto, ruang yang berada ditengah tebih itu hanya diam dan membisu apakah dia bisa apa tidak diproduksi menjadi tempat. Sehingga atas dasar ini diharapkan agar arsitek peka dan menyadari dengan baik tentang akan keberadaan ruang dan menggali potensi yang ada padanya.
Berikutnya kita akan melihat tempat ibadah di Huasan, China. Tempat ibadah bernama kuil ini mengambil posisi daerah tertinggi untuk mendekatkan umat pada tuhannya.


Penampakan lokasi kuil yang di bawahnya bertebar awan seakan di atas kayangan


Kuil mengambil ruang di leher tebing sebagai tempat ideal dalam memuja tuhannya

 

Ketika berusaha mendekatkan diri pada Tuhan, boleh jadi sebagian besar orang akan berpikir untuk menyampaikan doa-doanya di tempat yang damai dan sepi. Tampaknya, inilah yang menginspirasi banyak orang untuk mendirikan tempat ibadah di tempat yang tinggi, sunyi, dan berada di tepi jurang. Dibangun di satu ketinggian di kawasan pegunungan, inilah parade rumah ibadah yang berdiri tegak di pinggir jurang seraya dikelilingi keindahan alam yang membuat kita terenyak. Kuil yang terletak di Pegunungan Huashan, Cina, ini tampak bergantung di sisi gunung. Jika ingin mengunjungi biara ini, kita harus meniti tebing yang curam dan jalan berbahaya. Kuil Taktshang Tiger ini terletak di ketinggian tebing sekitar 2.300 kaki di atas Bukit Paro, Bhutan. Tengoklah ke bawah biara ini niscaya kita akan menemukan awan-awan di sana (http://www.republika.co.id/)

Berbeda halnya dengan resto yang telah dibahas sebelumnya. Ruang pada daerah ini cukup sesuai untuk dijadikan tempat ibadah. Sekondisi apapun keberadaan tempat yang dapat mempengaruhi mendatl negatif manusia, tidak akan mempan untuk menghentikan langkah untuk berkunjung ke tempat ibadah ini. Kenapa? karena tempat ibadah adalah suatu tempat yang diyakini dapat mempertemukan manusia dengan tuhannya. Bukan hidup yang harus dipertahankan, namun mati juga tidak masalah di tempat ini. Karena mati di rumah ibadah adalah tujuan sebagian besar manusia dalam mengakhiri hidup atau mengawali kematian. 


Terakhir, juga kita akan melihat hotel di China. Di ruang yang bagaimana tempat itu hadir?


Eksisting lembah terlihat sengaja diciptakan, bukan dari kondisi yang sudah ada


Memproduksi ruang seakan-akan menciptakan tempat memiliki dunia sendiri


Kondisi hotel pada malam hari berhasil memecah gulita


Hotel terletak di daerah Songjiang yang berdekatan dengan Shanghai ini adalah hotel yang dibangun di daerah lembah atau jurang dengan kedalaman sekitar 100 meter (rencananya selesai pada tahun 2009, tetapi penulis tidak tahu apa hotel ini sudah selesai apa tidak saat artikel ini di-publish). Hotel ini nantinya terdiri dari 400 kamar, restoran dan lainnya layaknya sebuah hotel bintang 5 yang juga dilengkapi dengan permainan di air (water activities) serta aquarium raksasa yang dapat dinikmati melalui sebuah restoran dengan kedalaman sekitar 10 meter dibawah permukaan air lembah.
(http://pinkflower9978.blogspot.com). Sayang, tidak disebutkan arsiteknya siapa... 

Pada bagian terakhir ini, saya tidak memberikan komentar tentang keberadaan Hotel di daerah Songjiang ini atas makna ruang terhadap tempat atau sebaliknya. Para pembaca dipersilahkan untuk menganalisisnya secara pribadi untuk melihat fenomena ruang di balik tempat itu.


Terkadang para pengambil kebijakan dalam menata perkotaan sangat sulit melihat potensi ruang yang dapat dijadikan tempat yang layak untuk meningkatkan cara hidup dan gaya hidup yang lebih baik di kota. Selain mengasah kemampuan dalam men-desain bentuk bangunan, para arsitek juga harus belajar untuk melihat potensi ruang di lingkungannya agar dapat memberikan konstribusi pembangunan kota pada negaranya. Ruang itu adalah suatu objek yang pemalu, pendiam dan cuek. Dia tidak akan menegur, kalau tidak kita yang menegur di luan. Dia tidak akan menjawab kalau kita tidak bertanya lebih dahulu. Dan dia juga tidak perduli dengan nasehat kita kalau kita tidak memberikan solusi kepadanya.


Dengan keterbatasan waktu, tenaga dan pikiran yang ada, hanya disini dulu ratapan ruang berbau arsitektur yang dapat saya muntahkan. Semoga berguna bagi pembaca dan dapat menggoncang susunan pikiran yang mulai kaku menjadi lebih dinamis. Segala kesalahan dan kekeliruan dalam tulisan ini mohon disampaikan dengan bukti yang mengena dan logis agar kita bisa berbagi dalam pengetahuan arsitektur yang kita senangi ini.

Kata kunci: meratap, ruang, tempat, gelembung pribadi, budaya, produksi ruang



 
daripada tersinggung dengan ejekan & kritikan, lebih baik diambil manfaatnya sebab adakalanya ejekan & kritikan dari musuh lebih jujur dari pujian seorang teman... 
Fastabikhul khairat, Wassalamualaikum, wr.wb.
blackaruni, tiga puluh mei dua ribu tiga belas, 17:40
medan